Dari Trump ke Tiongkok, IHSG Ambruk 1,73% Imbas Sentimen Global

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah 0,66% ke level 7.134 pada awal perdagangan Senin (2/6/2025) pukul 09.00 WIB, setelah sebelumnya ditutup di level 7.175. Hingga sesi jeda, IHSG tercatat turun lebih dalam sebesar 1,73% ke posisi 7.051. Pelemahan ini disebut-sebut sebagai koreksi wajar setelah kenaikan tajam selama Mei 2025.
Pengamat pasar modal Lanjar Nafi menyebut pelemahan tersebut sebagai tekanan jual jangka pendek pasca reli bulanan signifikan. “Data yang saya peroleh menunjukkan IHSG naik 6,04% sepanjang Mei 2025. Itu merupakan kenaikan bulanan tertinggi sejak Mei 2009,” ujar Lanjar kepada Warta Ekonomi, Senin (2/6/2025).
Lanjar menambahkan bahwa kondisi teknikal di sejumlah sektor unggulan telah memasuki wilayah jenuh beli (overbought), yang menjadi sinyal koreksi. Namun, menurutnya, momen ini justru menjadi peluang akumulasi bagi investor jangka menengah dan panjang.
Baca Juga: IHSG Masih Loyo, Saham Bank Raksasa Kompak Merosot
“Ini saatnya melakukan buy on weakness, khususnya pada saham-saham berfundamental kuat yang terkoreksi secara teknikal,” ucap Lanjar.
Sementara itu, analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji, menyatakan bahwa pelemahan IHSG juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Rencana Trump untuk menggandakan tarif impor baja dan aluminium, serta menaikkan tarif dari Uni Eropa hingga 50%, menimbulkan kekhawatiran pasar terhadap meningkatnya proteksionisme global.
“Ini yang kami sebut sebagai efek Trump’s temper tantrum. Pasar terguncang oleh ketidakpastian arah kebijakan AS,” kata Nafan.
Ia juga menyebut bahwa pelaku pasar tengah menantikan arah kebijakan Federal Reserve, khususnya terkait rilis dot plot, proyeksi PCE, tingkat pengangguran, dan outlook pertumbuhan ekonomi AS. “Semua indikator itu akan sangat memengaruhi persepsi risiko dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Baca Juga: IHSG Tergelincir, Efek Trump Tantrum?
Dari dalam negeri, tekanan juga datang dari rilis data inflasi yang menunjukkan terjadinya deflasi. Menurut Nafan, deflasi ini mencerminkan lemahnya permintaan masyarakat dan menjadi sinyal negatif bagi pasar. Selain itu, meskipun neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus selama 60 bulan berturut-turut, besarannya kini menyusut di bawah US$1 miliar, akibat defisit perdagangan dengan Tiongkok.
Menjawab pertanyaan soal sektor yang berpotensi diminati saat koreksi, Lanjar menyebut sektor keuangan, material dasar, dan energi masih menjanjikan. Menurutnya, ketiga sektor itu tetap memiliki dukungan fundamental yang kuat dalam jangka menengah.
Dengan kombinasi tekanan global dan domestik, analis menilai IHSG akan tetap rentan terhadap volatilitas dalam waktu dekat, sambil menunggu arah kebijakan ekonomi AS dan perkembangan indikator ekonomi dalam negeri.
相关文章
Tak Selalu Jahat, 5 Makanan Berlemak Ini Justru Menyehatkan
Daftar Isi Makanan berlemak yang menyehatkan2025-06-03Izinkan Acara Maksiat, FPI Ngamuk ke Anies!!
Warta Ekonomi, Jakarta - Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis meminta Gubernur DKI J2025-06-03Menlu Retno Telepon Menlu Iran, Saudi hingga AS, Minta Tahan Diri dan Deeskalasi
JAKARTA, DISWAY.ID--Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi telah berkomunikasi dengan2025-06-03FOTO: Ramah Lingkungan, Keranjang 'Krathong' Thailand Dibuat Virtual
Jakarta, CNN Indonesia-- Krathong adalah keranjang yang biasa dialirkan di sungai2025-06-03Polisi Batal Pemeriksa Sekjen PSSI, Ini Jadwal Berikutnya
Warta Ekonomi, Jakarta - Satgas Antimafia Bola telah mengagendakan pemeriksaan Sekretaris Jenderal (2025-06-03PSI Bongkar Lagi, Kali ini Kasus Rumah DP 0 Rupiah
Warta Ekonomi, Jakarta - Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi D Justin Andrian mengatakan anggaran rumah2025-06-03
最新评论